Friday, December 14, 2018

Spiritualisme Kritis: Suatu Sikap Melawan Zaman



Judul Buku      : Bilangan Fu
Penulis             : Ayu Utami
Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun              : 2018, cetakan kedua
Sebelum membaca Bilangan Fu, diri ini sudah terlebih dahulu berkenalan dengan karya Ayu Utami lainnya yaitu Saman dan Larung, dwilogi roman percintaan berlatar pergerakan aktivis dalam perjuangan menuju era reformasi dengan bumbu mistisme yang terasa sangat kental. Dari dua buku tersebut nalar ini menduga ada hubungan yang tak biasa antara penulis dan mistisme, namun ternyata dugaan itu salah. Penulis ternyata tidak hanya memilki hubungan yang tak biasa dengan mistisme, tapi dalam karyanya kali ini penulis mampu membuat mistisme tampil berani sebagai hidangan utama yang hanya bisa dinikmati dengan sebuah laku yang kemudian oleh penulis disebut sebagai spiritualisme kritis.
Perjumpaan tidak disengaja Yuda, mahasiswa pemanjat tebing dengan Parang Jati mahasiswa geologi menyeret dirinya juga kekasihnya Marja, kepada serangkaian peristiwa misterius di Watugunung, dimana ia mendapatkan sebuah wahyu suatu bilangan yang bernama Bilangan Hu. Kekalahan demi kekalahan pertaruhan Yuda dari Parang Jati dalam menebak rangkaian peristiwa di wilayah tersebut selain berhasil memaksanya mengubah metode pemanjatan juga mampu mengubah pandangannya yang selama ini sangat rasional dan tidak percaya takhayul. Dalam usaha pencariannya terhadap arti wahyu itu, membuat Yuda dan Marja juga terlibat lebih dalam pada perseteruan sahabatnya Parang Jati dengan perusak alam Watugunung, yang ternyata menjadi benang merah dari serangkaian peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut.
Mengambil latar belakang masa-masa peralihan runtuhnya orde baru, Indonesia dihadapkan tantangan baru memasuki reformasi. Terpilihnya presiden dari golongan agama mayoritas yang pluralis membuat ketidaknyamanan dari beberapa pihak yang sudah terlanjur nyaman dalam hegemoni orde baru yang statis. Serangkaian peristiwa di Sewugunung digambarkan dengan dramatis dan kritis oleh penulis untuk membuka mata para pembaca terhadap suatu konspirasi dari tiga kekuatan besar modernisme – militerisme – monoteisme yang siap menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan bahtera bangsa dan negara.
Masyarakat Sewugunung yang diceritakan penulis agaknya merupakan cerminan sesungguhnya dari kebanyakan pola pikir alami masyarakat Indonesia, yang kalau boleh mengambil istilah dari penulis, suatu pola pikir yang terbentuk dari gnosis sanguinis, pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam darah dan diturunkan melalui pewarisan genetika, bahwa sesungguhnya bangsa ini tidak akan pernah bisa lepas dari jati diri yang mistis, naturalis, dan humanis. Jati diri ini sudah sejak ada jauh sebelum agama pendatang tiba di nusantara yang kemudian beralkuturasi. Kalau boleh mengambil contoh seperti yang terjadi di Bali, jati diri tersebut menjelma menjadi suatu konsep bernama Tri Hita Karana bahwa untuk terwujudnya kebahagiaan dalam kehidupam dicapai dengan harmonisnya tiga hubungan yaitu, parahyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan dengan sesama manusia), palemahan (hubungan dengan alam).
Sayangnya, ketiga jadi diri bangsa ini dianggap sebagai suatu resistensi oleh kaum fanatik 3M (Modernisme – Militerisme – Monoteisme) untuk mewujudkan bentuk destruktif dari ketiga paham itu, Kapitalisme – Otoritarian – Intoleransi. Mistisme atau takhayul adalah musuh terbesar dari monoteisme dengan konsep ketuhanannya yang pencemburu. Naturalisme, dalam ini hubungan harmonis manusia dan alam dan lingkungannya adalah hambatan terbesar dari modernisme dalam memperluas ekspansi industri. Lalu yang terakhir, humanisme yang lembek dan menghindari konflik sangat bertentangan dengan militerisme yang keras dan hidup dari adanya konflik itu sendiri.
Membendung 3M dengan melawannya secara frontal, seperti apa yang dilakukan Parang Jati, sama mustahilnya seperti melawan arus sungai, karena ketiganya adalah sesuatu yang sejalan dengan perkembangan zaman, sehingga diperlukan suatu pendekatan yang bisa merubah arus tersebut dari hulunya. Solusi itulah yang oleh penulis kemudian dirumuskan sebagai intisari dari buku ini melalui wahyu Bilangan Hu, suatu bilangan diantara satu dan nol. Suatu kode yang secara harfiah adalah penggunaan yang sinergis dan berimbang dari rasio dan rasa, meskipun rasio tidak sama dengan rasa. Bilangan Hu adalah sesuatu diantara rasio dan rasa yang merupakan suatu jembatan dari spritualisme lokal yang mistis, naturalis, dan humanis terhadap spritualisme modern yang menjunjung monoteisme dan cenderung menyukai cara-cara militerisme. Cinta segitiga antara Yuda, Marja, dan Parang Jati secara apik oleh penulis digunakan sebagai simbolisme dari satu, nol, dan bilangan hu,  antara rasio, rasa, dan sesuatu diantaranya, antara spiritualisme lokal, spirutalisme modern, dan apa yang menjadi tema utama dari buku ini, spiritualisme kritis. Walau berawal dari suatu wahyu yang mistis, tapi hal sering dilupakan dalam merujuk turunnya wahyu kitab suci agama manapun hampir semua diturunkan melalu mistisme entah itu di gua, gunung, sungai, ataupun hutan. Jika pada saat diturunkan para nabi dan orang suci hanya mengutamakan rasio tanpa memperdulikan rasa, maka wahyu itu mungkin hanya dianggap sebagai waham belaka.
Dicetak ulangnya novel yang memenangkan Khatulistiwa Award 2008 pada satu dasawarsa setelah terbitnya saat ini, secara kebetulan mengambil momentum yang tepat menjelang pertarungan besar dua kekuatan yang akan bangsa ini saksikan sesaat lagi. Bilangan Fu dapat menjadi suatu referensi yang mampu membantu menentukan pilihan para pembaca bukan hanya untuk lima tahun ke depan, tapi sebagai suatu sikap yang perlu diambil untuk melawan konspirasi tiga kekuatan modernisme – militerisme – monoteisme yang rakus. Spiritualisme kritis adalah suatu laku yang mengutamakan kebaikan daripada kebenaran, suatu sikap yang diperlukan bukan untuk sekedar memilih di antara dua pilihan, tapi untuk melawan musuh yang lebih besar.

No comments:

Post a Comment