Gambar diambil dari www.suara.com
Beberapa waktu yang
lalu saya baru saja berulang tahun, dan ulang tahun kali ini pacar saya
menghadiahkan seperangkat alat seduh kopi. Seperti bocah yang mendapat mainan
baru, bangun tidur saya langsung menyeduh. Entah mengapa saat itu kopi yang
saya buat pagi itu terasa begitu nikmat. Selama ini saya hanya sebagai penikmat
kopi, jadi kemampuan saya menyeduh kopi memang patut saya ragukan. Bisa jadi
karena terlalu antusias sampai saraf perasa di lidah saya terganggu, sehingga
kopi yang sebenarnya biasa saja jadi terasa luar biasa. Mungkin juga perasaan
lega karena akhirnya bisa menyeduh sendiri, sehingga mungkin bukan rasa nikmat
yang saya rasakan tapi rasa lega. Nikmat dan lega memang kadang sulit
dibedakan. Seperti menerka wajah wanita ketika selesai bercinta, antara ia
merasakan nikmatnya seks dengan anda atau lega karena akhirnya selesai juga,
meski ia tak mencapai puncaknya. Tapi tulisan kali ini bukan tentang kopi
ataupun orgasme palsu.
Saat saya sedang
menikmati kopi, tiba-tiba ibu saya datang dari pasar. Saya mendapati setengah
bawah daster yang dikenakannya dipenuhi lumpur. Setelah saya pastikan tidak ada
luka, saya baru berani ketawa agar tidak terlalu berdosa. Ayah yang sedang
mencuci mobil menghampiri sumber tawa. Melihat istrinya penuh lumpur, ibu pun
lalu diinterograsi.
“Kenapa itu ?”
“Tadi jatuh ke got, kepleset, gara-gara
orang sembarangan buang oli.”
“Makanya kalau jalan hati-hati. Masak
ceceran oli nggak kelihatan.”
“Kok saya disalahkan. Kan yang salah
yang buang oli itu.”
Sebagian orang di
negeri ini, bukan cuma ayah, cenderung suka menyalahkan korban atas suatu
musibah yang terjadi, sebagiannya lagi cenderung menertawakan seperti saya. Apalagi
korban kecelakaan tunggal seperti ibu saya, pasti akan dianggap sebagai
kelalaiannya sendiri. Kita memang tidak bisa menghakimi oli karena ia benda
mati. Si pembuang oli belum diketahui, sehingga saat itu tidak bisa
dipersalahkan. Demi tegaknya kebenaran, masyarakat perlu mengambil keputusan segera
untuk menentukan siapa yang bersalah, karena ini kecelakaan tunggal,
satu-satunya yang bisa disalahkan ada korban, yaitu ibu saya. Begitulah nasib
kebanyakan korban kecelakaan tunggal di Indonesia, sudah jatuh tertimpa tangga.
Karena mencium bau-bau perdebatan yang tidak berujung, saya segera menengahi.
“Udah-udah, nggak usah nyari yang benar
dan salah. Sakit nggak, Bu ?”
“Nggak sakit sih, tapi kan malu.”
Nah, malu inilah yang
sebenarnya jadi permasalahan utama. Ibu dan ayah saya sebenarnya sama-sama
malu. Ibu malu karena terjatuh. Ayah malu karena istrinya jatuh. Rasa sakit
karena jatuh seringkali tidak apa-apanya dibanding rasa malu karenanya. Ibu
yang jatuh memang wajar malu, tapi kok ayah juga malu? Karena mereka menikah.
Ketika dua orang memutuskan untuk mengikat janji, sehidup semati, di atas kitab
suci, dihadapan para saksi, yang datang saat resepsi, mereka mau tidak mau,
suka tidak suka, terikat rasa satu sama lain. Ayah mau tidak mau harus
merasakan malu yang ibu rasakan, ibu suka tidak suka juga harus menerima malu
yang menimpanya juga menimpa suaminya. Sebelum tulisan ini jadi melebar
membahas suatu jenjang opsional kehidupan, yang sampai tulisan ini dibuat dan
saya pun belum ikut tersesat di dalamnya, mari kita mengulik apa itu malu.
Mungkin tidak banyak
yang mengetahui, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), setidaknya “malu”
saat ini sudah didefinisikan dalam tiga kalimat, dimana ketiganya
mendefinisikan “malu” dengan tingkatan makna yang terasa cukup berbeda. Ketiga
definisi tersebut antara lain:
1. Merasa
sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu
yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau
kekurangan, dan sebagainya;
2. Segan
melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya;
3. Kurang
senang (rendah, hina, dan sebagainya).
Berkaca pada definisi yang pertama, awalnya
perasaan malu dirasakan seseorang bila dirinya berbuat sesuatu yang kurang
baik. Kemudian tingkatan rasa malu tersebut mengalami sedikit penurunan makna definisi
yang kedua, dimana dalam definisi tersebut malu juga dirasakan apabila
seseorang segan melakukan sesuatu karena rasa hormat dan takut terhadap sesuatu
atau seseorang lainnya. Dan penurunan makna terhadap rasa malu yang paling
dangkal terasa pada definisi yang ketiga, bahwasanya malu adalah perasaan
kurang senang (merasa rendah, hina, dan sebagainya) tanpa pemicu yang jelas
seperti dua definisi pendahulunya. Rasa malu yang dirasakan oleh ibu dan bapak
saya pada kasus ini adalah cerminan dari definisi malu yang ketiga. Sebenarnya
ibu saya merasa kurang senang karena ia terjatuh, padahal bila seseorang
terjatuh seharusnya yang dirasakan adalah sakit. Semestinya ayah saya tidak
perlu merasa kurang senang karena bukan ia yang terjatuh, tapi karena istrinya
yang terjatuh, sepertinya yang sudah dijelaskan sebelumnya, sebagai suami ia
ikut menanggung rasa sakit yang salah dipersepsikan menjadi rasa malu tersebut.
Rasa malu ini sangat dangkal secara makna tetapi saat ini jutru lebih sering
dirasakan oleh orang banyak.
Adapun rasa malu sesuai
definisi kedua, juga sering dirasakan oleh orang – orang, khususnya pada mereka
yang telah lama percaya dan terbelenggu pada suatu ikatan hirearki sosial semu
di kepalanya. Suatu contoh ketika ayah dan ibu saya sedang mengikuti acara peringatan
HUT tempat bekerja ayah dulu. Saat itu sudah ada himbauan kalau pensiunan yang
hadir telah disediakan hidangan prasmanan bersama para pejabat perusahaan yang
masih pejabat. Saat diajak oleh ayah untuk mengambil hidangan prasmanan, ibu
saya menolak, alasannya ia tidak suka hidangan prasmanan tersebut dan memilih
mengambil nasi kotak jatah untuk peserta lainnya. Usut punya usut ternyata ibu
saya malu dengan istri – istri pejabat yang mengambil hidangan prasmanan
tersebut, padahal notabene status ayah saya juga seorang pensiunan pejabat.
Budaya malu seperti ini juga sering ditemukan di masyarakat, di Jawa sering
dikenal dengan istilah pakewuh. Pola
pikir seperti ini sebenarnya sangat tidak produktif. Seringkali potensi
pembicaraan terkait hubungan bisnis atau jalinan pertemanan yang tidak bisa
terjadi karena rasa malu ini karena hal ini.
Definisi yang pertama,
saya yakini adalah definisi terhadap perasaan malu yang sebenarnya paling tepat
untuk dirasakan, namun justru perasaan malu seperti ini yang justru sekarang
sangat sulit kita rasakan. Sebagai contoh, koruptor - koruptor yang mengenakan rompi oranye KPK. Pada awalnya KPK mendesain rompi yang mencolok ini dengan
tujuan untuk mempermalukan tersangka koruptor, namun ironisnya tampak banyak
diantara mereka yang masih bisa tersenyum meski telah menggunakan rompi
tersebut. Awalnya saya berpikir ada kesalahan pada pemilihan warna oranye yang mungkin justru membuat
mereka merasa fashionable, tetapi
sepertinya bukan hal itu yang menjadi penyebabnya. Budaya malu yang telah mengalami
penurunan tingkatan makna inilah yang sebenarnya menjadi suatu permasalahan
moral bagi bangsa kita saat ini. Para koruptor seharusnya merasa malu karena
korupsi merupakan suatu tindakan yang tercela, tapi sepertinya korupsi bagi
mereka yang masih bisa tersenyum setelah menggunakan rompi tersebut adalah hal
yang biasa saja.
Adanya degradasi makna
terhadap rasa malu yang dialami oleh bangsa kita saat ini menjadi suatu isu
penting dan mendesak untuk segera dicarikan solusi. Diperlukan suatu upaya
pendidikan karakter yang sistematis dan berkelanjutan untuk menanamkan budaya
malu hakiki yang sepatutnya dirasakan dan menghilangkan budaya malu dangkal
yang seharusnya tidak perlu dirasakan. Pendidikan budaya malu ini semestinya
sudah harus dimulai sejak usia dini, karena pada usia tersebut merupakan suatu golden period bagi perkembangan
kecerdasan. Ketimbang KPK mengeluarkan
biaya lebih untuk sekadar membuat efek malu bagi para koruptor yang telah tua
dan sulit untuk berubah, lebih baik pemerintah mengeluarkan dana lebih untuk
membangun suatu sistem pendidikan dan kurikulum budaya malu yang terintegrasi
dengan sistem pendidikan formal maupun informal bagi generasi penerus.