Judul
Buku : Bilangan Fu
Penulis :
Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2018, cetakan kedua
Sebelum membaca
Bilangan Fu, diri ini sudah terlebih dahulu berkenalan dengan karya Ayu Utami lainnya
yaitu Saman dan Larung, dwilogi roman percintaan berlatar pergerakan aktivis
dalam perjuangan menuju era reformasi dengan bumbu mistisme yang terasa sangat
kental. Dari dua buku tersebut nalar ini menduga ada hubungan yang tak biasa
antara penulis dan mistisme, namun ternyata dugaan itu salah. Penulis ternyata
tidak hanya memilki hubungan yang tak biasa dengan mistisme, tapi dalam
karyanya kali ini penulis mampu membuat mistisme tampil berani sebagai hidangan
utama yang hanya bisa dinikmati dengan sebuah laku yang kemudian oleh penulis
disebut sebagai spiritualisme kritis.
Perjumpaan tidak
disengaja Yuda, mahasiswa pemanjat tebing dengan Parang Jati mahasiswa geologi menyeret
dirinya juga kekasihnya Marja, kepada serangkaian peristiwa misterius di Watugunung,
dimana ia mendapatkan sebuah wahyu suatu bilangan yang bernama Bilangan Hu.
Kekalahan demi kekalahan pertaruhan Yuda dari Parang Jati dalam menebak
rangkaian peristiwa di wilayah tersebut selain berhasil memaksanya mengubah
metode pemanjatan juga mampu mengubah pandangannya yang selama ini sangat
rasional dan tidak percaya takhayul. Dalam usaha pencariannya terhadap arti
wahyu itu, membuat Yuda dan Marja juga terlibat lebih dalam pada perseteruan
sahabatnya Parang Jati dengan perusak alam Watugunung, yang ternyata menjadi
benang merah dari serangkaian peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut.
Mengambil latar
belakang masa-masa peralihan runtuhnya orde baru, Indonesia dihadapkan
tantangan baru memasuki reformasi. Terpilihnya presiden dari golongan agama
mayoritas yang pluralis membuat ketidaknyamanan dari beberapa pihak yang sudah
terlanjur nyaman dalam hegemoni orde baru yang statis. Serangkaian peristiwa di
Sewugunung digambarkan dengan dramatis dan kritis oleh penulis untuk membuka mata
para pembaca terhadap suatu konspirasi dari tiga kekuatan besar modernisme –
militerisme – monoteisme yang siap menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan
bahtera bangsa dan negara.
Masyarakat Sewugunung
yang diceritakan penulis agaknya merupakan cerminan sesungguhnya dari
kebanyakan pola pikir alami masyarakat Indonesia, yang kalau boleh mengambil
istilah dari penulis, suatu pola pikir yang terbentuk dari gnosis sanguinis, pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam
darah dan diturunkan melalui pewarisan genetika, bahwa sesungguhnya bangsa ini
tidak akan pernah bisa lepas dari jati diri yang mistis, naturalis, dan
humanis. Jati diri ini sudah sejak ada jauh sebelum agama pendatang tiba di
nusantara yang kemudian beralkuturasi. Kalau boleh mengambil contoh seperti
yang terjadi di Bali, jati diri tersebut menjelma menjadi suatu konsep bernama Tri Hita Karana bahwa untuk terwujudnya kebahagiaan
dalam kehidupam dicapai dengan harmonisnya tiga hubungan yaitu, parahyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan dengan sesama manusia),
palemahan (hubungan dengan alam).
Sayangnya, ketiga jadi
diri bangsa ini dianggap sebagai suatu resistensi oleh kaum fanatik 3M (Modernisme
– Militerisme – Monoteisme) untuk mewujudkan bentuk destruktif dari ketiga
paham itu, Kapitalisme – Otoritarian – Intoleransi. Mistisme atau takhayul
adalah musuh terbesar dari monoteisme dengan konsep ketuhanannya yang
pencemburu. Naturalisme, dalam ini hubungan harmonis manusia dan alam dan
lingkungannya adalah hambatan terbesar dari modernisme dalam memperluas
ekspansi industri. Lalu yang terakhir, humanisme yang lembek dan menghindari
konflik sangat bertentangan dengan militerisme yang keras dan hidup dari adanya
konflik itu sendiri.
Membendung 3M dengan
melawannya secara frontal, seperti apa yang dilakukan Parang Jati, sama
mustahilnya seperti melawan arus sungai, karena ketiganya adalah sesuatu yang
sejalan dengan perkembangan zaman, sehingga diperlukan suatu pendekatan yang
bisa merubah arus tersebut dari hulunya. Solusi itulah yang oleh penulis
kemudian dirumuskan sebagai intisari dari buku ini melalui wahyu Bilangan Hu,
suatu bilangan diantara satu dan nol. Suatu kode yang secara harfiah adalah
penggunaan yang sinergis dan berimbang dari rasio dan rasa, meskipun rasio
tidak sama dengan rasa. Bilangan Hu adalah sesuatu diantara rasio dan rasa yang
merupakan suatu jembatan dari spritualisme lokal yang mistis, naturalis, dan
humanis terhadap spritualisme modern yang menjunjung monoteisme dan cenderung
menyukai cara-cara militerisme. Cinta segitiga antara Yuda, Marja, dan Parang
Jati secara apik oleh penulis digunakan sebagai simbolisme dari satu, nol, dan
bilangan hu, antara rasio, rasa, dan
sesuatu diantaranya, antara spiritualisme lokal, spirutalisme modern, dan apa
yang menjadi tema utama dari buku ini, spiritualisme kritis. Walau berawal dari
suatu wahyu yang mistis, tapi hal sering dilupakan dalam merujuk turunnya wahyu
kitab suci agama manapun hampir semua diturunkan melalu mistisme entah itu di
gua, gunung, sungai, ataupun hutan. Jika pada saat diturunkan para nabi dan
orang suci hanya mengutamakan rasio tanpa memperdulikan rasa, maka wahyu itu
mungkin hanya dianggap sebagai waham belaka.
Dicetak ulangnya novel yang memenangkan
Khatulistiwa Award 2008 pada satu dasawarsa setelah terbitnya saat ini, secara
kebetulan mengambil momentum yang tepat menjelang pertarungan besar dua kekuatan
yang akan bangsa ini saksikan sesaat lagi. Bilangan Fu dapat menjadi suatu
referensi yang mampu membantu menentukan pilihan para pembaca bukan hanya untuk
lima tahun ke depan, tapi sebagai suatu sikap yang perlu diambil untuk melawan
konspirasi tiga kekuatan modernisme – militerisme – monoteisme yang rakus. Spiritualisme
kritis adalah suatu laku yang mengutamakan kebaikan daripada kebenaran, suatu
sikap yang diperlukan bukan untuk sekedar memilih di antara dua pilihan, tapi
untuk melawan musuh yang lebih besar.
No comments:
Post a Comment