Tuesday, April 2, 2019

Antara Malunya Jatuh dan Jatuhnya Malu: Sebuah Kritik terhadap Rompi Oranye KPK


Gambar diambil dari www.suara.com 

Beberapa waktu yang lalu saya baru saja berulang tahun, dan ulang tahun kali ini pacar saya menghadiahkan seperangkat alat seduh kopi. Seperti bocah yang mendapat mainan baru, bangun tidur saya langsung menyeduh. Entah mengapa saat itu kopi yang saya buat pagi itu terasa begitu nikmat. Selama ini saya hanya sebagai penikmat kopi, jadi kemampuan saya menyeduh kopi memang patut saya ragukan. Bisa jadi karena terlalu antusias sampai saraf perasa di lidah saya terganggu, sehingga kopi yang sebenarnya biasa saja jadi terasa luar biasa. Mungkin juga perasaan lega karena akhirnya bisa menyeduh sendiri, sehingga mungkin bukan rasa nikmat yang saya rasakan tapi rasa lega. Nikmat dan lega memang kadang sulit dibedakan. Seperti menerka wajah wanita ketika selesai bercinta, antara ia merasakan nikmatnya seks dengan anda atau lega karena akhirnya selesai juga, meski ia tak mencapai puncaknya. Tapi tulisan kali ini bukan tentang kopi ataupun orgasme palsu.
Saat saya sedang menikmati kopi, tiba-tiba ibu saya datang dari pasar. Saya mendapati setengah bawah daster yang dikenakannya dipenuhi lumpur. Setelah saya pastikan tidak ada luka, saya baru berani ketawa agar tidak terlalu berdosa. Ayah yang sedang mencuci mobil menghampiri sumber tawa. Melihat istrinya penuh lumpur, ibu pun lalu diinterograsi.
“Kenapa itu ?”
“Tadi jatuh ke got, kepleset, gara-gara orang sembarangan buang oli.”
“Makanya kalau jalan hati-hati. Masak ceceran oli nggak kelihatan.”
“Kok saya disalahkan. Kan yang salah yang buang oli itu.”
Sebagian orang di negeri ini, bukan cuma ayah, cenderung suka menyalahkan korban atas suatu musibah yang terjadi, sebagiannya lagi cenderung menertawakan seperti saya. Apalagi korban kecelakaan tunggal seperti ibu saya, pasti akan dianggap sebagai kelalaiannya sendiri. Kita memang tidak bisa menghakimi oli karena ia benda mati. Si pembuang oli belum diketahui, sehingga saat itu tidak bisa dipersalahkan. Demi tegaknya kebenaran, masyarakat perlu mengambil keputusan segera untuk menentukan siapa yang bersalah, karena ini kecelakaan tunggal, satu-satunya yang bisa disalahkan ada korban, yaitu ibu saya. Begitulah nasib kebanyakan korban kecelakaan tunggal di Indonesia, sudah jatuh tertimpa tangga. Karena mencium bau-bau perdebatan yang tidak berujung, saya segera menengahi.
“Udah-udah, nggak usah nyari yang benar dan salah. Sakit nggak, Bu ?”
“Nggak sakit sih, tapi kan malu.”
Nah, malu inilah yang sebenarnya jadi permasalahan utama. Ibu dan ayah saya sebenarnya sama-sama malu. Ibu malu karena terjatuh. Ayah malu karena istrinya jatuh. Rasa sakit karena jatuh seringkali tidak apa-apanya dibanding rasa malu karenanya. Ibu yang jatuh memang wajar malu, tapi kok ayah juga malu? Karena mereka menikah. Ketika dua orang memutuskan untuk mengikat janji, sehidup semati, di atas kitab suci, dihadapan para saksi, yang datang saat resepsi, mereka mau tidak mau, suka tidak suka, terikat rasa satu sama lain. Ayah mau tidak mau harus merasakan malu yang ibu rasakan, ibu suka tidak suka juga harus menerima malu yang menimpanya juga menimpa suaminya. Sebelum tulisan ini jadi melebar membahas suatu jenjang opsional kehidupan, yang sampai tulisan ini dibuat dan saya pun belum ikut tersesat di dalamnya, mari kita mengulik apa itu malu.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), setidaknya “malu” saat ini sudah didefinisikan dalam tiga kalimat, dimana ketiganya mendefinisikan “malu” dengan tingkatan makna yang terasa cukup berbeda. Ketiga definisi tersebut antara lain:
1.      Merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya;
2.      Segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya;
3.      Kurang senang (rendah, hina, dan sebagainya).
Berkaca pada definisi yang pertama, awalnya perasaan malu dirasakan seseorang bila dirinya berbuat sesuatu yang kurang baik. Kemudian tingkatan rasa malu tersebut mengalami sedikit penurunan makna definisi yang kedua, dimana dalam definisi tersebut malu juga dirasakan apabila seseorang segan melakukan sesuatu karena rasa hormat dan takut terhadap sesuatu atau seseorang lainnya. Dan penurunan makna terhadap rasa malu yang paling dangkal terasa pada definisi yang ketiga, bahwasanya malu adalah perasaan kurang senang (merasa rendah, hina, dan sebagainya) tanpa pemicu yang jelas seperti dua definisi pendahulunya. Rasa malu yang dirasakan oleh ibu dan bapak saya pada kasus ini adalah cerminan dari definisi malu yang ketiga. Sebenarnya ibu saya merasa kurang senang karena ia terjatuh, padahal bila seseorang terjatuh seharusnya yang dirasakan adalah sakit. Semestinya ayah saya tidak perlu merasa kurang senang karena bukan ia yang terjatuh, tapi karena istrinya yang terjatuh, sepertinya yang sudah dijelaskan sebelumnya, sebagai suami ia ikut menanggung rasa sakit yang salah dipersepsikan menjadi rasa malu tersebut. Rasa malu ini sangat dangkal secara makna tetapi saat ini jutru lebih sering dirasakan oleh orang banyak.
Adapun rasa malu sesuai definisi kedua, juga sering dirasakan oleh orang – orang, khususnya pada mereka yang telah lama percaya dan terbelenggu pada suatu ikatan hirearki sosial semu di kepalanya. Suatu contoh ketika ayah dan ibu saya sedang mengikuti acara peringatan HUT tempat bekerja ayah dulu. Saat itu sudah ada himbauan kalau pensiunan yang hadir telah disediakan hidangan prasmanan bersama para pejabat perusahaan yang masih pejabat. Saat diajak oleh ayah untuk mengambil hidangan prasmanan, ibu saya menolak, alasannya ia tidak suka hidangan prasmanan tersebut dan memilih mengambil nasi kotak jatah untuk peserta lainnya. Usut punya usut ternyata ibu saya malu dengan istri – istri pejabat yang mengambil hidangan prasmanan tersebut, padahal notabene status ayah saya juga seorang pensiunan pejabat. Budaya malu seperti ini juga sering ditemukan di masyarakat, di Jawa sering dikenal dengan istilah pakewuh. Pola pikir seperti ini sebenarnya sangat tidak produktif. Seringkali potensi pembicaraan terkait hubungan bisnis atau jalinan pertemanan yang tidak bisa terjadi karena rasa malu ini karena hal ini.
Definisi yang pertama, saya yakini adalah definisi terhadap perasaan malu yang sebenarnya paling tepat untuk dirasakan, namun justru perasaan malu seperti ini yang justru sekarang sangat sulit kita rasakan. Sebagai contoh, koruptor - koruptor yang mengenakan rompi oranye KPK. Pada awalnya KPK mendesain rompi yang mencolok ini dengan tujuan untuk mempermalukan tersangka koruptor, namun ironisnya tampak banyak diantara mereka yang masih bisa tersenyum meski telah menggunakan rompi tersebut. Awalnya saya berpikir ada kesalahan pada pemilihan warna oranye yang mungkin justru membuat mereka merasa fashionable, tetapi sepertinya bukan hal itu yang menjadi penyebabnya. Budaya malu yang telah mengalami penurunan tingkatan makna inilah yang sebenarnya menjadi suatu permasalahan moral bagi bangsa kita saat ini. Para koruptor seharusnya merasa malu karena korupsi merupakan suatu tindakan yang tercela, tapi sepertinya korupsi bagi mereka yang masih bisa tersenyum setelah menggunakan rompi tersebut adalah hal yang biasa saja.
Adanya degradasi makna terhadap rasa malu yang dialami oleh bangsa kita saat ini menjadi suatu isu penting dan mendesak untuk segera dicarikan solusi. Diperlukan suatu upaya pendidikan karakter yang sistematis dan berkelanjutan untuk menanamkan budaya malu hakiki yang sepatutnya dirasakan dan menghilangkan budaya malu dangkal yang seharusnya tidak perlu dirasakan. Pendidikan budaya malu ini semestinya sudah harus dimulai sejak usia dini, karena pada usia tersebut merupakan suatu golden period bagi perkembangan kecerdasan. Ketimbang KPK mengeluarkan biaya lebih untuk sekadar membuat efek malu bagi para koruptor yang telah tua dan sulit untuk berubah, lebih baik pemerintah mengeluarkan dana lebih untuk membangun suatu sistem pendidikan dan kurikulum budaya malu yang terintegrasi dengan sistem pendidikan formal maupun informal bagi generasi penerus.

Friday, December 14, 2018

Spiritualisme Kritis: Suatu Sikap Melawan Zaman



Judul Buku      : Bilangan Fu
Penulis             : Ayu Utami
Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun              : 2018, cetakan kedua
Sebelum membaca Bilangan Fu, diri ini sudah terlebih dahulu berkenalan dengan karya Ayu Utami lainnya yaitu Saman dan Larung, dwilogi roman percintaan berlatar pergerakan aktivis dalam perjuangan menuju era reformasi dengan bumbu mistisme yang terasa sangat kental. Dari dua buku tersebut nalar ini menduga ada hubungan yang tak biasa antara penulis dan mistisme, namun ternyata dugaan itu salah. Penulis ternyata tidak hanya memilki hubungan yang tak biasa dengan mistisme, tapi dalam karyanya kali ini penulis mampu membuat mistisme tampil berani sebagai hidangan utama yang hanya bisa dinikmati dengan sebuah laku yang kemudian oleh penulis disebut sebagai spiritualisme kritis.
Perjumpaan tidak disengaja Yuda, mahasiswa pemanjat tebing dengan Parang Jati mahasiswa geologi menyeret dirinya juga kekasihnya Marja, kepada serangkaian peristiwa misterius di Watugunung, dimana ia mendapatkan sebuah wahyu suatu bilangan yang bernama Bilangan Hu. Kekalahan demi kekalahan pertaruhan Yuda dari Parang Jati dalam menebak rangkaian peristiwa di wilayah tersebut selain berhasil memaksanya mengubah metode pemanjatan juga mampu mengubah pandangannya yang selama ini sangat rasional dan tidak percaya takhayul. Dalam usaha pencariannya terhadap arti wahyu itu, membuat Yuda dan Marja juga terlibat lebih dalam pada perseteruan sahabatnya Parang Jati dengan perusak alam Watugunung, yang ternyata menjadi benang merah dari serangkaian peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut.
Mengambil latar belakang masa-masa peralihan runtuhnya orde baru, Indonesia dihadapkan tantangan baru memasuki reformasi. Terpilihnya presiden dari golongan agama mayoritas yang pluralis membuat ketidaknyamanan dari beberapa pihak yang sudah terlanjur nyaman dalam hegemoni orde baru yang statis. Serangkaian peristiwa di Sewugunung digambarkan dengan dramatis dan kritis oleh penulis untuk membuka mata para pembaca terhadap suatu konspirasi dari tiga kekuatan besar modernisme – militerisme – monoteisme yang siap menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan bahtera bangsa dan negara.
Masyarakat Sewugunung yang diceritakan penulis agaknya merupakan cerminan sesungguhnya dari kebanyakan pola pikir alami masyarakat Indonesia, yang kalau boleh mengambil istilah dari penulis, suatu pola pikir yang terbentuk dari gnosis sanguinis, pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam darah dan diturunkan melalui pewarisan genetika, bahwa sesungguhnya bangsa ini tidak akan pernah bisa lepas dari jati diri yang mistis, naturalis, dan humanis. Jati diri ini sudah sejak ada jauh sebelum agama pendatang tiba di nusantara yang kemudian beralkuturasi. Kalau boleh mengambil contoh seperti yang terjadi di Bali, jati diri tersebut menjelma menjadi suatu konsep bernama Tri Hita Karana bahwa untuk terwujudnya kebahagiaan dalam kehidupam dicapai dengan harmonisnya tiga hubungan yaitu, parahyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan dengan sesama manusia), palemahan (hubungan dengan alam).
Sayangnya, ketiga jadi diri bangsa ini dianggap sebagai suatu resistensi oleh kaum fanatik 3M (Modernisme – Militerisme – Monoteisme) untuk mewujudkan bentuk destruktif dari ketiga paham itu, Kapitalisme – Otoritarian – Intoleransi. Mistisme atau takhayul adalah musuh terbesar dari monoteisme dengan konsep ketuhanannya yang pencemburu. Naturalisme, dalam ini hubungan harmonis manusia dan alam dan lingkungannya adalah hambatan terbesar dari modernisme dalam memperluas ekspansi industri. Lalu yang terakhir, humanisme yang lembek dan menghindari konflik sangat bertentangan dengan militerisme yang keras dan hidup dari adanya konflik itu sendiri.
Membendung 3M dengan melawannya secara frontal, seperti apa yang dilakukan Parang Jati, sama mustahilnya seperti melawan arus sungai, karena ketiganya adalah sesuatu yang sejalan dengan perkembangan zaman, sehingga diperlukan suatu pendekatan yang bisa merubah arus tersebut dari hulunya. Solusi itulah yang oleh penulis kemudian dirumuskan sebagai intisari dari buku ini melalui wahyu Bilangan Hu, suatu bilangan diantara satu dan nol. Suatu kode yang secara harfiah adalah penggunaan yang sinergis dan berimbang dari rasio dan rasa, meskipun rasio tidak sama dengan rasa. Bilangan Hu adalah sesuatu diantara rasio dan rasa yang merupakan suatu jembatan dari spritualisme lokal yang mistis, naturalis, dan humanis terhadap spritualisme modern yang menjunjung monoteisme dan cenderung menyukai cara-cara militerisme. Cinta segitiga antara Yuda, Marja, dan Parang Jati secara apik oleh penulis digunakan sebagai simbolisme dari satu, nol, dan bilangan hu,  antara rasio, rasa, dan sesuatu diantaranya, antara spiritualisme lokal, spirutalisme modern, dan apa yang menjadi tema utama dari buku ini, spiritualisme kritis. Walau berawal dari suatu wahyu yang mistis, tapi hal sering dilupakan dalam merujuk turunnya wahyu kitab suci agama manapun hampir semua diturunkan melalu mistisme entah itu di gua, gunung, sungai, ataupun hutan. Jika pada saat diturunkan para nabi dan orang suci hanya mengutamakan rasio tanpa memperdulikan rasa, maka wahyu itu mungkin hanya dianggap sebagai waham belaka.
Dicetak ulangnya novel yang memenangkan Khatulistiwa Award 2008 pada satu dasawarsa setelah terbitnya saat ini, secara kebetulan mengambil momentum yang tepat menjelang pertarungan besar dua kekuatan yang akan bangsa ini saksikan sesaat lagi. Bilangan Fu dapat menjadi suatu referensi yang mampu membantu menentukan pilihan para pembaca bukan hanya untuk lima tahun ke depan, tapi sebagai suatu sikap yang perlu diambil untuk melawan konspirasi tiga kekuatan modernisme – militerisme – monoteisme yang rakus. Spiritualisme kritis adalah suatu laku yang mengutamakan kebaikan daripada kebenaran, suatu sikap yang diperlukan bukan untuk sekedar memilih di antara dua pilihan, tapi untuk melawan musuh yang lebih besar.